Kamis, 11 Desember 2014

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Pancasila merupakan filsafat bangsa yang dihasilkan oleh para tokoh pendiri negara (The Founding Father) yang mengandung artian perenungan, pemikiran mendalam dan juga perefleksian dalam merumuskan nilai-nilai dasar negara dan disahkan bersamaan dengan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945.
Kelima dasar yang terdapat dalam pancasila saling berhubungan sehingga membentuk satu kesatuan yang disebut dengan sistem. Menurut Kaelan (2000 : 66) sistem adalah 1- satu kesatuan, 2- setiap bagian mempunyai fungsi tersendiri, 3- saling berhubungan, 4- untuk mencapai tujuan bersama (tujuan sistem), 5- terjadi dalam satu lingkungan. Setiap sila yang berbeda itu mempunyai tujuan tertentu yang sama yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Pancasila sebagai sistem filsafat karena mengandung pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan tuhan, diri sendiri, dengan sesama, dan hubungan dengan masyarakat.Pancasila mempunyai nilai filsafat yaitu sebagai filsafat hidup (weltanschauung) bangsa atau jati diri (Volksgeist) nasional, serta martabat bangsa dalam menghadapi peradaban dunia.
A.     Pengertian filsafat
Secara etimologi filsafat berasal dari bahasa yunani (philosophia),  philos berarti cinta atau philia berarti persahabatan dan sophos berarti kebijaksanaan (Bagus, 1996 : 242) secara harfiah philosophia berarti mencintai kebijaksanaan (Wisdom). Filsafat adalah hasil dari berfikir sedalam-dalamnya tentang pengetahuan yang paling bijaksana dan mendekati kesempurnaan. Menurut pythagoras (572-497 M) istilah philosophos diartikan sebagai pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom). Adapun pengertian filsafat menurut beberapa filsuf yaitu :
1)     Plato (427-347 SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan yanng berminat mencapai kebenaran yang asli.
2)     Aristoteles (384-322 SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
3)     Marcus Tullius cicero (106-43 SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang maha agung.
4)     Immanuel kant (1724-1804); filsafat adalah ilmu pengetahuan pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika dan antropologi.
Secara umum filsafat merupakan ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk mencapai kebenaran.kedudukan filsafat sebagai The Mother Of Science (induk ilmu pengetahuan) yang bersifat positvistik, kegiatan intelektual yang metodis dan sistematis menekan reflektifitas dalam mengungkap suatu kebenaran.
Menurut Bagus (1996 : 242-243) filsafat sebagai sebuah pencarian yang memiliki empat cabang keilmuan yaitu :
·          Metafisika ; mempelajari sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
·         Epistemologi ; mempelajari seluk beluk pengetahuan.
·         Aksiologi ; menelusuri hakikat nilai baik maupun buruk.
·         Logika ;  memuat aturan-aturan yang rasional.
B.  Filsafat pancasila
Filsafat pancasila merupakan refleksi, perenungan dan rasional jiwa tentang pancasila sebagai ideologi bangsa yang dilakukan oleh The Founding Father indonesia yang dituangkan dalam satu sistem. Atau hasil pemikiran sedalam-dalamnya yang sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia.
Filsafat pancasila dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 yang diambil dari akulturasi budaya dan tradisi indonesia. Filsafat pancasila tidak hanya bertujuan mencari tetapi digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (Way of life atau Weltanschauung) agar bangsa indonesia mencapai kebahagian lahir batin.
Sebagai filsafat, pancasila mempunyai dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis :
a)  Dasar ontologis pancasila
Pancasila benar-benar menunujukkan dalam realitas dengan identitas dan entitas yang jelas. Serta memperjelas identitas dan entitas pancasila secara filosofis. Karena ontologi pancasila memiliki hal-hal yang mutlak yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa, jasmani dan rohani, artinya eksistensi, sifat dan kualitas pancasila sangat bergantung pada manusia indonesia, dan manusia indonesia ini yang mendukung pokok sila-sila pancasila. Dan pada kakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis.
Menurut Notonagoro, 1983 : 25. Pancasila sebagai filsafat negara mempunyai empat sebab (causa) yaitu ;
v  Sebab berupa materi (causa material) ; asal mulanya dari bahan yaitu budaya dan agama.
v  Sebab berupa bentuk (causa formalis) ; yaitu adanya pembentuk dan pembang negara oleh tokoh dalam BPUPKI.
v  Sebab berupa tujuan (causa finalis) ; yaitu adanya penyusunan rencana UUD 1945 tempat terdapatnya pancasila sehingga menjadi bentuk dan tujuan dari pancasila sebagai dasar filsafat negara.
v  Sebab berupa asal mula karya (causa eficient) ; yaitu karya PPKI yang menjadikan pancasila sebagai dasar filsafat negara. 
b)  Dasar epistemologis pancasila
Eksistentensi pancasila dibangun sebagai penyederhana terhadap realitas yang ada dalam masyarakat multikultural dan multietnik, karena pengetahuan pancasila berpijak pada hakikat manusia yang menjadi pendukung pokok pancasila. Dan pancasila merupakan pedoman atas dasar bangsa indonesia dengan memandang realitas alam, manusia dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan.
c)  Dasar aksiologis pancasila
Nilai pancasila hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia indonesia karena pancasila bukan nilai yang berdiri sendiri (Given value) melainkan nilai yang diciptakan (created value) pancasila memiliki nilai intrinsik dan ekstrinsik, nilai intrinsik adalah nilai asli milik bangsa yang berpadu dengan nilai budaya luar, sedangkan nilai ekstrinsik yaitu menjadi arah perwujudan bangsa dengan menyesuaikan terhadap nilai-nilai pancasila. Dan pancasila juga mengandung nilai relitas dan idealitas, realitas ; karena didalam sila-sila pancasila berisi nilai yang sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Idealitas ; nilai yang berisi hal-hal yang hendak dicapai.
C.  Hakikat sila-sila pancasila
Kata “hakikat” berarti suatu makna terdalam atau inti pokok dari segala sesuatu yang mengandung unsur tertentu sehingga terpisah dengan sesuatu yang lain yang bersifat mutlak. Karena hakikat segala sesuatu mengandung kesatuan mutlak yang tersusun dari unsur-unsur di dalamnya. Pengertian kata “hakikat” dapat dipahami dalam tiga kategori yaitu :
1)  Hakikat Abstrak : suatu inti pokok yang mengandung unsur-unsur tetap dan tidak dapat berubah dan bersifat mutlak, contoh kata : ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Dalam contoh tersebut sesungguhnya menunjukkan makna dasar yaitu tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil.
2)  Hakikat pribadi   : suatu nilai pokok yang ada dalam sesuatu yang bersifat khusus artinya nilai tersebut terikat pada sesuatu tersebut dan tetap melekat pada sesuatu itu sehingga sesuatu itu berbeda dengan sesuatu yang lain. Seperti halnya pancasila yang menunjuk pada nilai agama, nilai budaya, sifat dan karakter, sehingga dengan nilai-nilai tersebut disebut dengan kepribadian pancasila.
3)  Hakikat konkrit   : bersifat nyata yang sesuai dengan realisasi dalam kehidupan sehari-hari bersifat dinamis sesuai dengan waktu dan keadaan yang terjadi.seperti halnya pancasila dalam realisasinya, pancasila adalah pedoman praktis dalam kehidupan bernegara indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari-hari, tempat, keadaan dan waktu.
Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh, kesatuan sila-sila pancasila tersebut yaitu ;
Ø  Kesatuan sila-sila pancasila dalam struktur yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal.

Ø  Hubungan Kesatuan sila-sila pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi.

sejarah kodifikasi hadist

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hadist merupakan pedoman kedua bagi umat islam di dunia setelah Al-Qur’an, yang tentunya memiliki peranan sangat penting pula dalam disiplin ajaran islam. Hadist atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Dengan demikian, keberadaan Al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al–Qur’an.Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunannya lebih lama dan panjang masanya dibandingkan dengan Al-Qur’an. Al-Hadits butuh waktu 3 abad untuk pengkodifikasiannya secara menyeluruh.Banyak sekali liku-liku dalam sejarah pengkodifikasian hadits  yang berklangsung pada waktu itu.
Munculnya hadits – hadits palsu merupakan alasan yang amat kuat untuk mengadakan kodifikasi hadits. Selain itu,  kodifikasi hadits ketika itu di lakukan karena para ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri, dikawatirkan hadits akan menghilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian memelihara hadits, dan banyak berita – berita yang diada – adakan oleh kaum penyebar bid’ah.
Atas dasar masalah yang diuraikan di atas makalah ini disusun Disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Ulumul Hadits.

B.     Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang dibahas dalam penulisan makalah ini sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang diatas adalah :
1.    Apa yang dimaksud dengan kodifikasi hadits?
2.    Apa penyebab terjadinya kodifikasi Hadits?
3.    Bagaimana proses penulisan dan pembukuan hadits :
a)      Periode pertama (zaman Nabi)
b)      Periode kedua (zaman khulafaur rasyidin)
c)      Periode ketiga (zaman sahabat kecil dan Tabi’in besar)



BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pengertian kodifikasi Hadits
Kodifikasi hadits merupakan upaya penghimpunan hadits dalam bentuk tulisan, sahifah (lembaran) ataupun kitab secara sistematis.
Manna Al-Qatthan mendefinisikan dengan usaha pengumpulan hadits yang sudah dituliskan dalam bentuk shuhuf atau yang terpelihara dalam bentuk hafalan, dan kemudian menyusunnya hingga menjadi sebuah kitab.[1]
Langkah ini dapat dipahami sebagai usaha pencarian dan pengumpulan hadits dari berbagai sumber (lisan atau tulisan) yang menunujukkan keberadaan hadits itu. Jadi, kodifikasi hadits dapat dipahami sebagai suatu proses kegiatan yang mencakup langkah pengumpulan sumber (hadits) dan penyusunan kitab hadits. Selain itu, kodifikasi hadits juga merujuk pada suatu hasil yang dihasilkan selama proses penghimpunan dan penulisan hadits itu.

B.  Penyebab terjadinya kodifikasi hadits
Pada abad pertama Hijrah, mulai dari zaman Rasul, masa Khulafaur Rasyidin dan sebagian besar zaman Amawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits – hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing -masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.
Dikala kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz  yang dinobatkan dalam tahun 99 H., seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa perawi yang membendaharakan hadits dalam dadanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan kumpulkan dalam buku – buku hadits dari para perawinya, mungkinlah hadits-hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawa bersama oleh para penghafalnya kealam barzakh.
Orang pertama kali yang mempunyai ide untuk menulis hadits adalah khalifah Umar bin Abd Aziz, dimana beliau mengirimkan surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, yang mengatakan “periksalah dan tulislah semua hadits-hadits Nabi, sunah-sunah yang sudah dikerajkan, karena saya khawatir hal itu akan punah”. Khalifah Umar bin Abd Aziz juga memberikan tugas kepada ibnu syihab Al-zuhri dan lain-lain untuk mengumpulkan dan menuliskan hadits. Pendapat Imam Malik juga populer, bahwa orang yang pertama kali menulis hadits adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri.
Ibnu Hajar dengan menukil pendapat para Ulama’ mengatakan bahwa jema’ah sahabat dan Tabi’in enggan menulis hadits, mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara lisan. Akan tetapi setelah kecenderungan mulai menurun dan para ulama’ menghawatirkan punahnya hadits, mereka lalu menulisnya. Yang pertama kali menulis hadits adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri atas perintah Umar bin Abd Aziz pada abad pertama hijriyah. Setelah itu penulisan hadits berkembang banyak, begitu pula penulisan buku-buku lain. Dengan begitu banyak kebaikan yang diperoleh.[2]

C.  Proses penulisan dan pembukuan hadits
Dalam sejarah proses penulisan dan pembukuan hadits ini secara garis besar terbagi dalam tiga periodesasi mulai dari zaman permulaan yaitu pada masa Nabi SAW, zaman kedua (Khulafaur Rasyidin) dan zaman ketiga pada masa tabi’in, tiga periodesasi tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
a)    Periode pertama (Zaman Nabi)
Beberapa abad sebelum islam daerah arabia sudah mengenal tradisi baca-tulis. Kegiatan tulis menulis di jazirah Arab terus berlanjut ketika islam datang. Dan sejak Rasulullah  SAW, hijrah ke Madinah,  orang bisa menulis semakin bertambah. Sedangkan Hadits Rasulullah pada waktu itu terlalu banyak untuk dapat dihitung. Setiap peristiwa diikuti sabda Nabi, setiap permintaan fatwa ada penjelasan dari beliau dan dalam banyak wahyu Al-Qur’an terdapat keterangan serta penafsiran dari Rasulullah. Bagaimana mungkin para penulis mengikuti Rasulullah SAW, kemanapun beliau pergi dan menuliskan semua apa yang beliau sabdakan, beliau kerjakan dan beliau tetapkan. Yang dapat diterima akal ialah bila beberapa sahabat Nabi dengan motivasi tinggi mencatat sebanyak-banyaknya apa yang mereka dengar dan disetujui oleh Rasulullah, agar tidak menimbulkan kerancuan antara sunnah dan Al-Qur’an, karena beberapa sahabat lainnya hanya sanggup mencatat sedikit. Sementara sisanya sibuk dengan pencatatan Al-Qur’an yang telah mereka hafal dan menyimpannya dalam hati sehingga menyita hampir seluruh waktu mereka. 
Pada permulaan turunnya wahyu, Rasulullah SAW, melarang penulisan Hadits, karena khawatir timbul kerancuan antara sabda, penjelalasan dan perilaku beliau dengan Al-Qur’an, apalagi ini ditulis pada lembaran yang sama. Nabi SAW, bersabda : “janganlah kalian tulis apa yang datang dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya! Ceritakan apa yang kalian dengar dariku, itu tidak apa-apa. Tetapi barangsiapa membuat kedustaan atasku secara sengaja maka hendaklah ia mempersiapkan pantatnya untuk dilalap apa neraka.” Kemudian Rasulullah memberikan izin secara umum, ketika sebagian besar wahyu telah turun dan banyak orang menghafalnya. Serta aman dari kerancuan dari yang lainnya. Rasulullah SAW, bersabda : “ikatlah ilmu dengan tulisan.”
Larangan menulis hadits Nabi SAW, itu bersifat umum, karena sabdanya memang ditujukan kepada para sahabat pada umumnya. Diantara mereka ada yang terpercaya, ada yang baik dan lebih baik lagi, ada yang ingatannya kuat dan lebih kuat lagi. Dalam waktu yang bersamaan, Rasulullah SAW memberi izin khusus kepada beberapa orang diantarnya. Dengan demikian diharapkan tulisan dan hafalan saling menunjang. Bila yang menulisnya orang-orang yang kuat ingatannya. Agar tulisan itu membantu memperkuat ingatan, kalau-kalau mereka kelupaan dan hafalan tidak menjamin. Jadi, izin Nabi kepada mereka itu mempunyai pengecualian khusus kepada para sahabatnya, karena berbagai pertimbangan akan situasi dan kondisi waktu itu, dan sifat-sifat pribadi yang bersangkutan.[3] 
b)   Periode kedua (Zaman Khulafaur Rasyidin)
Pada masa Abu Bakar dan Umar disebut masa pembatasan/penyederhanaan periwayatan (taqlil al-riwayah), penyampaian periwayatan dilakukan dengan lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu jika umat Islam menghadapi suatu masalah saja yang memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah diatas menerima hadits orang perorangan jika disertai dengan saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika juga disertai dengan sumpah.
Demikian juga para sahabat lain yang semula melarang menulis sunah akhirnya memperbolehkannya bahkan menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran pemeliharaan Al-Qur’an seperti Abdullah Bin Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib, Hasan Bin Ali, Muawiyah, Abdullah Bin Abbas, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, dan lain-lain.
Hukum penetapan penulisan hadits terjadi secara berangsur-angsur (Al-Tadarruj). Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghapal dan menulis Al-Qur’an. Sunah hanya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar dari panutan yang mulia yaitu Nabi Saw. Kemudian setelah Al-Qur’an terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al-Qur’an, para ulama sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.
Pada masa Ali ra, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali dan Mu’awiyah. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:
1.      Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian dua kelompok yang bertikai.
2.      Syi’ah sangat fanatik dan mengkultuskan ‘Ali
3.      Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua diatas. Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat Hadis palsu (mawdhu’) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau partai-partai diatas untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya Hadis mawdhu’ dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik.
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin berakibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam menjadi beberapa kelompok. Secara langsung ataupun tidak pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya, baik pengaruh yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negatif adalah munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya. Pengaruh yang bersifat positif adalah terciptanya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut (Mudasir. 1999.96).[4]

c)    Periode ketiga (sahabat kecil dan tabi’in besar)
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) (Mudasir. 1999.94).
Sesudah masa Khulafaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tata cara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk meyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol, karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memacu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh kalangan tabi’in yang berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran sudah dikumpulkan pada satu mushaf dan para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani umayah perluasan wilayah kekuasaan berkembang pesat dan juga semakin meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut. Sehingga pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (intisyar Ar-Riwayah lla Al Amshar).[5]
















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari makalah diatas  dapat disimpulkan bahwa kodifikasi hadis merupakan proses pengumpulan dan penyusunan hadis dimana hal ini bertujuan untuk melestarikan sunnah nabi SAW. Dan dalam proses penyusunannya sendiri terdiri dari beberapa periode anataralain masa nabi, sahabat dan masa tabi’in. dimana pada setiap masanya juga terdapat masalah-masalah yang berkaitan dengan penulisan hadits tersebut.
   v Pada masa Rasulullah adanya larangan dalam penulisan karena takut terjadi kerancuan antara Al-Qur’an dan Hadits. Kemudian Rasulullah memberikan izin secara umum, ketika sebagian besar wahyu telah turun dan banyak orang menghafalnya. Serta aman dari kerancuan dari yang lainnya. Rasulullah SAW, bersabda : “ikatlah ilmu dengan tulisan.”
   v Pada masa khulafaur Rasyidin menerapkan pembatasan periwayatan hadits yang dilakukan oleh Abu Bakar yang hanya digunakan seperlunya saja dalam menghadapi suatu masalah. Kemudian setelah Al-Qur’an terpelihara dengan baik mereka telah mampu membedakannya dengan hadits, akhirnya mereka memperbolehkan bahkan menganjurkan dalam menulis Hadits.
   v Pada masa Tabi’in ini timbul usaha sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan Hadits. Dalam periwayatan Hadits pun di bakukan upaya untuk menyelamatkan hadits dari pemalsuan hadits. Dan pada masa ini juga adanya penyebaran ahli hadits ke beberapa daerah kekuasaan islam sehingga para tabi’in disini bisa belajar banyak hadits dari mereka. Oleh karena itu, pada masa ini dikenal dengan penyebaran periwayatan hadits (Intisyar Ar-Riwayah Ila Al-Amshar).

B. SARAN
Demikianlah uraian singkat makalah tentang “Sejarah Kodifikasi Hadits.” Tulisan ini masih sangat terbatas dan memerlukan tambahan guna memperluas wawasan kita. Hal ini sebagai upaya mengetahui dan memahami peristiwa sejarah penulisan dan pembukuan hadits (kodifikasi hadits) sehingga generasi penerus kita mampu mengambil 'ibrah dari peristiwa yang telah terjadi di masa lalu, agar nantinya kita dapat mencontoh dan mengambil apa yang seharusnya kita pegangi dan tidak megulangi lagi kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para tokoh-tokoh Islam terdahulu.
Penulisan makalah ini belum memenuhi harapan semua pihak, tetapi setidak-tidaknya ada bahan bacaan ke arah tujuan kemuliaan islam di muka bumi ini. Karena keterbatasan wawasan serta ilmu yang penulis miliki, maka sudah barang tentu masih jauh dari kata sempurna, disana sini masih masih banyak tedapat kekurangan dan kesalahannya, oleh karena itu tegur sapa, kritik serta saran, akan sangat berharga dan dengan segala kerendahan hati mohon maaf atas segala kekurangannya, untuk disempurnakan dimasa depan, seiring do’a semoga para pembaca yang budiman yang dengan segala ketulusan berkenan memberikan masukan, kami haturkan banyak terimakasih, serta tak lupa mendo’akan agar segala kebaikannya mendapat imbalan pahala yang berlipat ganda dari Allah subhanahu wa ta’ala, amin.










DAFTAR PUSTAKA

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadits Dan Historiografi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2011.
Azami, MM. Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus,1994.
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus,2009.






[1] Dr. Syaifuddin, M.Ag. Arus tradisi Tadwin hadits dan historiografi islam, (Yogyakarta : pustaka pelajar, 2011, Cet. I), hlm.36
[2] Prof.Dr. M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus,1994, Cet. I), hlm.106-107
[3] Dr. Subhi As-Shalih, Membahas ilmu-ilmu Hadits, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus,2009, Cet. VIII), hlm.35-38
[4]http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/04/sejarah-pertumbuhan-penulisan-dan.html